Mengurai Akar Kemarahan Rakyat, Kabid Kemahasiswaan dan Kepemudaan PW SEMMI SULSEL

blank

MAKASSAR, SULSEL Belakangan Pemerintah Provinsi Sulsel & Pemerintah Kota Makassar, TNI, POLRI, DPRD & unsur forkopimda mengumandangkan seruan moral bertajuk “Sulsel & Makassar Rumah Kita, Mari Jaga Bersama.” Seruan itu menekankan pentingnya menjaga persaudaraan, menolak provokasi serta menyalurkan aspirasi dengan cara-cara damai.

Pesan ini memang terdengar baik di permukaan. Namun ketika ditempatkan dalam konteks sosial politik Sulawesi Selatan hari ini, seruan itu terasa janggal & timpang.

Bacaan Lainnya

Seruan menjaga kedamaian, ketenteraman, dan persaudaraan yang disuarakan Pemerintah provinsi Sulsel & pemerintah Kota Makassar tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari imbauan moral. Namun, penting untuk kita sadari bahwa seruan damai semata tidak serta-merta menjadi solusi bagi gejolak sosial yang saat ini tengah menguat di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar.

Gerakan unjuk rasa (UNRAS) bukanlah fenomena yang lahir secara tiba-tiba atau tanpa sebab. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan, keresahan dan ketidakadilan yang dirasakan rakyat. Ketika rakyat turun ke jalan itu adalah ekspresi politik paling dasar yang menandakan bahwa ada problem mendasar yang belum diselesaikan.

Menjawab gelombang kemarahan rakyat hanya dengan slogan kedamaian tanpa menyentuh akar masalah sejatinya adalah bentuk penghindaran substansi. Kita tentu sepakat menolak kekerasan, premanisme, dan tindakan provokatif. Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa kemarahan rakyat bukanlah provokasi melainkan manifestasi dari rasa sakit yang mendalam. Dalam konteks inilah, yang dibutuhkan bukan sekadar ajakan damai melainkan dialog yang sejati, setara dan konstruktif antara pemerintah dengan rakyat.

Kedamaian bukanlah hasil dari imbauan moral, melainkan buah dari keberanian untuk memperbaiki keadaan. Makassar akan benar-benar menjadi rumah kita bersama bila aspirasi didengar, bukan diabaikan & bila keadilan ditegakkan, bukan ditunda.

Demokrasi bukanlah hanya soal menyalurkan aspirasi dengan “cara yang baik” sebagaimana dikutip dalam pernyataan Pemerintah provinsi Sulsel & pemerintah Kota Makassar. Demokrasi sejati justru menghendaki agar aspirasi rakyat didengar secara serius, dipahami substansinya dan ditindaklanjuti dalam kebijakan nyata.

Rakyat tentu mampu menyampaikan aspirasi dengan cara damai, tetapi pertanyaannya, apakah pemerintah sungguh-sungguh mendengarkan? Seruan damai tanpa kesediaan membuka ruang dialog hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Justru di titik ini seringkali muncul provokasi dan tindakan represif yang pada akhirnya menimbulkan korban dari rakyat kecil yang tidak bersalah. Inilah yang harus dicegah dengan sikap bijak, transparan, dan terbuka dari para pemangku kebijakan.

Sulsel dan Makassar sebagai “Rumah Kita” benar adanya. Namun rumah hanya akan terasa tenteram bila penghuninya merasa dihargai & didengar. Sebaliknya, rumah bisa berubah menjadi ruang penuh bara bila ada inkonsistensi yang terus dipelihara. Karena itu, jalan keluar sejati untuk menurunkan eskalasi adalah mengakui tuntutan rakyat secara substantif, membuka ruang dialog yang tulus, serta menghasilkan solusi konkrit yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Dengan demikian, menjaga Makassar bukan sekadar menolak kekerasan dan provokasi, tetapi juga membuka pintu perubahan yang lebih adil dan demokratis.

1. Mengurai akar kemarahan RAKYAT

Gelombang unjuk rasa (UNRAS) yang merebak di Makassar dan Sulawesi Selatan bukanlah sesuatu yang datang tanpa sebab. Ia adalah akumulasi panjang dari kekecewaan, ketidakpuasan, dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Di tengah kebijakan yang kerap tak berpihak, rakyat akhirnya memilih jalanan sebagai mimbar perlawanan.

Maka ketika rakyat marah, itu bukanlah sekadar emosi. Kemarahan rakyat adalah cermin kegagalan negara dalam menjawab kebutuhan dan harapan warganya. Sayangnya, alih-alih memahami sumber amarah itu, pemerintah justru mereduksi gerakan rakyat sebagai sesuatu yang berpotensi chaos, rawan provokasi, dan harus diredam.

Tuntutan Substantif harus Didengar & Diakui, Demonstrasi lahir dari akumulasi keresahan. Mengkampanyekan damai tanpa merespon substansi justru dianggap menutup mata atas masalah utama. Pemerintah perlu menunjukkan kesediaan untuk mendengar dan mengakui legitimasi tuntutan rakyat.

2. Seruan Damai Tanpa Substansi adalah upaya Menutup Luka dengan Plester Tipis

Tentu kita semua menghendaki kedamaian. Namun perlu ditegaskan, damai tanpa keadilan hanyalah ilusi. Mengkampanyekan damai tanpa memahami tuntutan rakyat bagaikan menutup luka yang dalam dengan plester tipis, tampak tertutup di luar, tetapi sakitnya tetap merongrong dari dalam.

Seruan damai semacam ini sejatinya tidak lebih dari strategi meredam gejolak sesaat, bukan mencari solusi sejati. Bahkan lebih buruk, ia berpotensi dipakai untuk mendeligitimasi gerakan rakyat, dengan menyematkan stigma provokatif, anarko & vandalisme kepada mereka yang menuntut hak-haknya. Padahal, rakyat bukanlah provokator mereka adalah korban dari sistem yang tidak adil.

3. Demokrasi yang Dibungkam, Demokrasi yang Pincang

Pemerintah Kota Makassar menekankan bahwa aspirasi harus disampaikan dengan cara yang baik. Pernyataan ini, bila dibaca sepintas, tampak masuk akal. Tetapi pertanyaannya apakah pemerintah juga sudah mendengar dengan cara yang baik? Apakah aspirasi yang disampaikan rakyat sudah benar-benar ditindaklanjuti?

Demokrasi bukan sekadar menuntut rakyat untuk tertib. Demokrasi sejati adalah ketika negara membuka ruang dialog tanpa syarat, menerima kritik tanpa defensif dan menjawab aspirasi dengan kebijakan nyata. Jika rakyat diminta bersuara “dengan cara yang baik” tetapi suara itu hanya berakhir di ruang arsip tanpa tindakan nyata maka demokrasi telah berubah menjadi seremonial belaka.

4. Dialog Konstruktif sebagai Jalan Keluar & win win solution

Apa yang paling dibutuhkan rakyat hari ini bukanlah slogan, melainkan dialog substantif dan solusi konkret. Dialog yang bukan basa-basi, melainkan ruang setara di mana rakyat tidak diposisikan sebagai pihak yang harus “menyampaikan dengan sopan” tetapi sebagai pemilik kedaulatan yang berhak didengar.

Dialog Konstruktif & Setara, Proses komunikasi dua arah antara rakyat dan pemerintah harus berjalan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan, dan kejujuran. Dialog bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi ruang untuk mencari solusi konkrit.

Dialog konstruktif berarti membuka pintu, mengakui keresahan rakyat sebagai sesuatu yang sah dan bersama-sama mencari jalan keluar yang realistis. Tanpa itu, setiap seruan damai akan terdengar hampa dan setiap janji keamanan akan dianggap sekadar alat penguasa untuk mempertahankan status quo.

Solusi yang Bersifat Jangka Panjang, Redam eskalasi sesaat memang penting, tapi tanpa solusi struktural masalah akan muncul kembali. Karena itu, langkah damai harus diikuti kebijakan nyata yang berpihak kepada rakyat.

5. Sulsel & Makassar sebagai Rumah Bersama adalah Makna yang Harus Diperjuangkan

Menekan Potensi Provokasi dengan Transparansi, akar provokasi sering muncul ketika ada ketidakjelasan atau kecurigaan. Dengan membuka data, kebijakan, dan alasan di balik keputusan, pemerintah bisa meredam spekulasi yang membakar amarah publik.

Kita sepakat, Makassar adalah rumah kita bersama. Tetapi mari jujur, Rumah bersama bukanlah sekadar retorika tetapi ruang yang menjamin semua penghuninya diperlakukan setara, dihargai suaranya. Bila tidak, rumah itu hanya akan menjadi bangunan kosong yang sewaktu-waktu bisa dilalap api amarah

6. Seruan Kritis untuk Pemerintah Provinsi Sulsel & Pemerintah Kota Makassar

– Pemerintah wajib mendengar tuntutan rakyat secara substantif, bukan sekadar menempelkan label provokasi.

– Dialog terbuka, setara, dan konstruktif harus segera dibangun, Dialog yang memberi ruang rakyat untuk bicara tanpa rasa takut dan dijawab dengan komitmen nyata.

– Kebijakan yang berpihak kepada rakyat harus segera lahir, karena hanya dengan itu ketegangan sosial & eskalasi gerakan dapat diredakan.

– Hentikan pendekatan represif dan stigmatisasi terhadap gerakan rakyat. Setiap represi hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan.

Menolak kekerasan bukan berarti menolak perlawanan rakyat. Menjaga kedamaian tidak boleh menjadi alasan untuk menutup ruang kritik. Damai sejati hanya akan lahir dari keadilan. Pungkas idam Kabid kemahasiswaan & kepemudaan PW SEMMI SULSEL

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *