Badai di Dua Panggung: Kisah Ibu Fitriani Melawan Pelakor, dan Oknum Pegawai Bea Cukai

blank

Makassar, SULSEL Bisikan-bisikan itu tadinya hanya desiran samar, nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk lalu lintas Makassar yang tak henti-hentinya, tetapi bagi Fitriani, bisikan-bisikan itu perlahan menyatu menjadi deru memekakkan telinga di benaknya. Kecurigaan yang menggerogoti, dingin dan tajam, telah mengendap di benaknya berminggu-minggu yang lalu, tumbuh seiring larutnya malam, setiap kali jawaban mengelak dari FH, suaminya, seorang petugas Bea Cukai.

Hari ini, gemerisik itu akan menjadi badai.

Bacaan Lainnya

Dengan hati yang berat dan tekad yang lahir dari penderitaan, Fitriani mengikuti jejak-jejak itu. Sebuah petunjuk, sebuah panggilan telepon yang teredam, telah membawanya ke Jalan Andi Mappaoddang, sebuah jalan yang kini tampak berdengung dengan energi yang berbahaya. Napasnya tercekat saat ia memperlambat mobilnya, matanya mengamati etalase pertokoan. Dan di sanalah ia. Bukan perempuan itu, belum, melainkan simbol pengkhianatan suaminya yang tak terbantahkan dan mencolok: sebuah mobil Hilux Bea Cukai resmi yang ramping, bernomor plat DD 1544 XX, terparkir dengan acuh tak acuh di luar sebuah salon yang terang benderang.

Badai di Dua Panggung: Kisah Ibu Fitriani Melawan Pelakor, dan Oknum Pegawai Bea Cukai

Ironi itu begitu tajam. Sebuah kendaraan pemerintah, yang seharusnya melayani publik, kini menjadi kereta perang untuk urusan gelap. Perut Fitriani menegang, mengancam akan menghancurkannya. Namun ia bertahan, disulut oleh campuran dahsyat duka dan amarah yang membara.

Ia berhenti, kabut merah menyelimuti. Tepat saat ia mematikan mesin, pintu salon terbuka. Seorang perempuan muncul, rambutnya tergerai indah bak gaya profesional, senyumnya untuk FH, yang baru saja keluar dari Hilux, masih mengenakan seragam dinasnya. Itu adalah pemandangan biasa seorang pria menjemput rekannya, di bawah terik matahari sore, namun bagi Fitriani, itu adalah kiamat.

“FH!” Nama itu terucap dari tenggorokannya, kasar dan parau, mengguncang udara.

Kepala suaminya tersentak, wajahnya memucat lebih cepat daripada tinta di kertas basah. Matanya, yang biasanya begitu percaya diri, melotot seperti burung yang terperangkap. Perempuan di sampingnya, si “lain”, membeku, senyumnya lenyap menjadi topeng keterkejutan dan kengerian yang mulai muncul.

Fitriani pun langsung keluar dari mobilnya, kakinya bergerak sendiri. “Jadi ini yang kamu lakukan dengan mobil dinas?! Dengan uang negara?!” Suaranya meninggi, penuh dengan racun dan kesedihan mendalam dari seorang istri yang hancur. “Kau bawa pelacur ini dengan mobil Dinas Bea Cukai dengan nomor Pol 1544 ?!”

Adegan itu meledak. FH tergagap, tangannya terulur, lalu ditarik kembali. Perempuan itu tersentak, wajahnya kini dipenuhi perlawanan dan ketakutan. Klakson mobil meraung-raung dari kendaraan yang melintas, para pengemudinya menjulurkan leher. Telepon-telepon sudah diangkat, merekam drama yang berlangsung brutal itu.

Tepat saat Fitriani maju, siap melampiaskan amarahnya yang meluap-luap kepada perempuan itu, pintu salon kembali terbuka. Sesosok muncul – seorang perempuan dengan atasan flamboyan berpayet, rambutnya sendiri menjadi bukti dramatis profesinya, sang pemilik salon.

“Apa ini?! Apa masalahmu?!” pekik pemiliknya, suaranya melengking, langsung bersikap defensif. Dia mengulurkan tangannya ke arah Fitriani, menempatkan dirinya di antara istri yang marah dan ‘pelakor’ itu. “Ini urusanku! Kamu bikin keributan! Jangan ganggu usahaku!”

Kata-katanya, alih-alih meredakan situasi, justru menyiramkan bensin ke api. Bagi Fitriani, itu adalah konfirmasi yang memberatkan. Sang pemilik tidak hanya mengamati; ia melindungi, membela perselingkuhan yang justru menghancurkan dunianya.

“Kau membela dia?!” Fitriani meraung, suaranya serak, matanya menyala. “Kau tahu dia berselingkuh dengan suami orang?! Pakai mobil dinas?!”

Perdebatan sengit memanas, diwarnai hiruk-pikuk tuduhan, penyangkalan, dan upaya panik pemilik salon untuk membungkam Fitriani dan melindungi karyawannya. FH berdiri mematung, seperti patung aib publik, seragam Bea Cukai-nya merupakan olok-olok kejam terhadap integritas profesionalnya. Video berdurasi 1 menit 40 detik itu, yang goyang namun memberatkan, telah memulai perjalanannya yang tak terelakkan, diunggah ke internet, siap untuk dibedah, dibagikan, dan dinilai oleh banyak orang asing.

Saat kerumunan semakin membesar dan kilatan kamera berkelap-kelip bak kunang-kunang yang ganas, Fitriani merasakan ketenangan yang aneh dan hampa. Ledakan amarah yang awalnya meluap telah berlalu, meninggalkan kekosongan yang luas dan menyakitkan. Pernikahannya, kepercayaannya, harga dirinya semuanya hancur berantakan di aspal Jalan Andi Mappaoddang, di bawah tatapan langit Makassar yang acuh tak acuh dan lensa kamera ponsel yang tak henti-hentinya. Hilux resmi, yang dulu menjadi simbol karier gemilang suaminya, kini hanyalah monumen suram untuk kehancurannya.

Skandal itu akan menyebar seperti api, menjadi kisah peringatan tentang pengkhianatan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penghinaan publik. Dan setelahnya, hanya puing-puing yang akan tersisa.

Hingga berita ini terbit, belum ada hasil konfirmasi dari (FH)., Dan pemilik salon yang dimana terduga pelakor bekerja disana

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *